Lebih lanjut ustadz Haekal mengutip Martin Buber, seorang filsuf eksistensialisme asal austria, untuk menjelaskan komunikasi yang baik, ”Jadi ada pertemuan yang hanya sekedar pertemuan biasa saja, seperti bertemunya ibu dengan tukang sayur di pinggir jalan di depan rumahnya atau pertemuan kita dengan teman yang ada di kendaraan umum yang satu barisan kursi,” namun dalam komunikasi yang berkesan harus ada pertemuan yang melibatkan seluruh diri kita, seluruh pribadi kita, bukan pertemuan luar saja, tetapi pertemuan dengan seluruh pribadi kita. itulah komunikasi yang sesungguhnya, pertemuan yang bisa melakukan perubahan dalam diri bahwa orang yang berkomunikasi tersebut. “Dan Buber mengatakan pertemuan yang mengubah diri kita betapapun pendeknya adalah begegnung pertemuan yang selintas itu adalah vergegnung, boleh jadi ada suami istri yang selama ini pertemuannya adalah pertemuan vergegnung dan bukan pertemuan begegnung,” tambah Ustadz Haekal yang pernah menyelesaikan Pendidikan Strata 1-nya di Damascus University pada tahun 1998.
Disela-sela penjelasannya Ustadz Haekal menayangkan cuplikan-cuplikan video yang menggugah audiens Apel Pagi, salah satunya adalah cuplikan video petinju legenderis, Muhammad Ali. Figur ini sengaja ditayangkan untuk memberikan teladan bagi kita semua tentang perjuangan seorang kulit hitam yang ingin diakui kehormatannya sebagai manusia. Petinju “bermulut besar” ini adalah seorang atlit yang intelektual, karena walaupun petinju, beliau selalu menyuarakan tentang persamaan dan kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih.
“Hal ini dilakukan Muhammad Ali karena beliau terinspirasi dengan keteladanan dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW,” lanjut Ustadz Haekal, yang selain sebagai guru Agama Islam di SMA Lazuardi GIS beliau juga aktif dalam pengajian-pengajian di sekitar tempat tinggalnya-, memberikan penjelasan. Menurut Rasulullah saw, kita disebut kafir kalau kita memerangi sesama kita, kalau kita saling memukul kuduk-kuduk kita. Dahulu, Rasulullah saw mendefinisikan orang yang tidak beriman sebagai orang yang tidak mendatangkan kedamaian kepada sesama manusia; atau orang yang tidak peduli dengan penderitaan sesamanya, yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya; atau orang yang suka memaki, melaknat, berkata kasar, dan menusuk hati sesama saudaranya. Rasulullah saw mendefinisikan kekafiran dan ketidakberimanan sebagai akhlak yang buruk.
Maka tidak ada jalan lain yang lebih indah dengan semua banyak perbedaan diantara seluruh umat manusia, kecuali Toleransi. Agar kita sebagai makhluk Tuhan di muka bumi ini bisa hidup aman dan damai tanpa ada friksi berdarah, sentimen rasis atau konflik ideologi berkepanjangan. hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, kasih sayang untuk seluruh umat manusia, bukan “rahmatan lith-thai-ifiyyin” (yang kasih sayangnya hanya untuk kelompok kita saja).
Marilah kita gemakan pesan Allah dan Nabi ini kepada seluruh ummat manusia, dengan cara kita buktikan kasih sayang kita kepada sesama manusia untuk tidak menyakiti siapapun apapun mazhabnya dan apapun golongannya, apapun status ekonominya karena Allah telah memuliakan semuanya laqod karromna bani adama, marilah kita hidup dengan menebarkan kasih sayang dan saling perduli antara satu dengan yang lainnya. Abd/RJK